Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BEKERJA SAMA DALAM LINGKUNGAN SOSIAL YANG BERBEDA

BEKERJASAMA DALAM LINGKUNGAN SOSIAL YANG BERBEDA

Angkatan kerja dalam sebuah perusahaan sekarang ini semakin beragam. Banyak perusahaan-perusahaan bertarap multinasional yang memperkerjakan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Akibatnya angkatan kerja semakin beragam dalam hal struktur keluarga, jenis kelamin, budaya, agama, dan latar belakang pendidikannya.

A.     Berkomunikasi dengan Pelanggan dan Kolega Dari Latar Belakang yang Berbeda

Budaya adalah merupakan suatu sistem simbol, sikap, keyakinan, harapan, dan norma tingkah laku yang dimiliki bersama. Sementara sub budaya merupakan kelompok-kelompok yang berlatar belakang berbeda yang ada dalam suatu budaya utama. Orang-orang mempelajari budaya baik itu secara langsung ataupun tidak langsung dari anggota kelompoknya. Saat anda tumbuh didalam suatu budaya anda akan diajarkan siapa anda serta bagaimana berfungsi secara baik dalam budaya tersebut oleh para anggota kelompok lainnya.

Cara pandang seseorang atas budaya lain tidak selalu akan menerima dan memahaminya, ada yang cenderung bersikap menyamaratakan dengan budaya sendiri. Sikap tersebut disebut dengan etnosentrisme. Etnosentris adalah kecenderungan untuk menilai semua kelompok lain menurut standar, tingkah laku, dan tradisi kelompok sendiri dan memandang kelompok ataupun budaya lain lebih rendah.

1.      Perbedaan Budaya

Perbedaan budaya bisa menjadi sebuah hambatan dalam berkomunikasi yang sulit untuk diatasi. Perbedaan budaya bisa dilihat dari konteks budaya, perbedaan aspek legal dan etika, Perbedan sosial dan perbedaan tanda-tanda non verbal.

a.      Perbedaan Konteks Budaya

Konteks budaya ini merujuk pada pola petunjuk fisik, stimulus lingkungan, serta pemahaman tersirat yang menyampaikan sebuah arti antara dua anggota dalam budaya yang sama. Dari budaya satu ke budaya lain orang-orang menyampaikan sebuah arti contextual secara berbeda, Context budaya didunia terbagi menjadi dua jenis budaya, antara lain yaitu:

1)      Budaya dengan Low Context
Negara-negara yang termasuk kedalam budaya dengan low context antara lain Amerika Utara dan Eropa.Ciri-ciri budaya yang low context ialah sebagai berikut:
a)      Dalam pengambilan keputusan lebih cepat, hal ini karena fokus pada tujuan, serta terbiasa berterus terang.
b)      Dalam pemecahan masalah terfokus pada penyebabnya, sehingga tidak bertele-tele.
c)      Negosiasi akan lebih cepat memutuskan apabila ada kekuasaan untuk memutuskan.
d)      Adanya pemisahan antara masalah pribadi dan pekerjaan.

2)      Budaya dengan High Context
Negara-negara yang termasuk dalam budaya dengan high context, diantaranya adalah negara-negara Asia, termasuk juga Indonesia. Ciri-ciri dari budaya yang high context ialah sebagai berikut:
a)      Dalam pengambilan keputusan tidak efisien, karena cenderung lebih menjaga perasaan orang lain sehingga lebih lama dalam proses pengambilan keputusannya.
b)      Pemecahan masalah lebih lama karena cenderung tidak berorientasi kepada akar penyebab masalah, tetapi lebih kepada menjaga perasaan orang lain.
c)      Negosiasi sering kali bisa dapat memutuskan secara langsung.
d)      Tidak ada pemisahaan antara masalah pribadi dan pekerjaan.

b.      Perbedaan Aspek Legal dan Etika

Konteks budaya juga sangat mempengaruhi perilaku legal dan etika. Perbedaan-perbedaan legal dan etika tersebut bisa terlihat dari beberapa aspek sebagai berikut:

1)      Pada Budaya dengan Konteks Rendah
a)      Mengutamakan perjanjian tertulis
b)      Seseorang akan dinyatakan bersalah pada saat ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Sebelum pengadilan memutuskan tidak boleh dinyatakan bersalah.

2)      Pada Budaya dengan Konteks Tinggi
a)      Lebih mengutamakan perjanjian secara lisan
b)      Seseorang akan dinyatakan bersalah pada saat polisi melakukan penangkapan sampai dengan hakim memutuskan di pengadilan.

Saat berkomunikasi secara lintas budaya, maka pesan haruslah bersikap etis, dengan menerapkan 4 prinsip dasar, yaitu sebagai berikut:
a)      Secara aktif mencari kesesuaian untuk memperoleh pemahaman bersama.
b)      Tidak boleh ada prasangka ataupun penilaian secara terburu-buru dimuka.
c)      Menunjukkan rasa hormat kepada budaya lain yang berbeda.
d)      Mengirim pesan secara jujur.

c.       Perbedaan dalam Aspek Sosial

Perbedaan budaya atas dasar aspek sosial terbagi menjadi empat bagian, yakni konsep terhadap materi, peran dan status, penggunaan cara dan sopan santun, dan konsep waktu.

1)      Konsep Terhadap Materi
a)      Konteks budaya rendah: Berorientasi pada tujuan serta kenyamanan materi didapat dari usaha individu.
b)      Konteks budaya tinggi: Mendapatkan pekerjaan lebih penting daripada bekerja secara efisien.

2)      Peran dan Status
a)      Konteks budaya rendah: Dapat menyapa atasan tanpa memakai gelar, seperti “Bapak” ataupun “Ibu”, “Mr” maupun “Mrs”. Hubungan antara atasan dan bawahan bersifat terbuka, tidak ada perbedaan antara atasan maupun bawahan. Diluar pekerjaan, atasan dan bawahan bisa berteman dengan baik, dan mengesampingkan status mereka dalam suatu pekerjaan.
b)      Konteks budaya tinggi: Menyapa pelaku bisnis atau atasan dengan gelar, status sosial sangat penting, bahkan pada saat itu diluar pekerjaan ataupun diluar kedinasan. Tertutup, atasan dan bawahan harus dibedakan, cenderung ada jarak diantara atasan dan bawahan.

3)      Penggunaan Cara dan Sopan Santun
a)      Konteks budaya rendah: Memberikan sebuah hadiah kepada istri teman dianggap sopan serta biasa.
b)      Konteks budaya tinggi: Memberikan sebuah hadiah kepada istri teman dianggap tidak sopan.

4)      Konsep Waktu
Konteks budaya rendah menganggap waktu sebagai suatu cara untuk merencanakan hasil kerja dengan efisien. Waktu dibutuhkan dengan sangat berharga. Namun sebaliknya pada konteks budaya tinggi cenderung tidak menghargai waktu, sehingga istilah jam karet adalah hal yang biasa.

d.      Perbedaan Tanda-Tanda Non Verbal

1.      Konsep Ruangan
Pada budaya dengan konteks budaya rendah ruangan kerja cenderung lebih tertutup karena mereka lebih menghargai privacy seseorang. Sementara pada budaya dengan konteks budaya tinggi ruangan cenderung lebih terbuka. Atasan dan bawahan bisa saling melihat satu sama lain, seperti bisa kita lihat di perusahaan-perusahaan Jepang.

2.      Kontak Mata
Pada budaya dengan konteks rendah seperti misalnya Amerika Serikat, apabila seseorang tidak membalas tatapan matanya maka dianggap sesorang tersebut mengelak ataupun tidak jujur. Sementara pada budaya dengan konteks tinggi, seperti misalnya di Asia dan Amerika Latin, dengan mempertahankan tatapan mata kebawah adalah tanda penghargaan ataupun penghormatan. Dan sebaliknya menatap mata secara langsung dapat dianggap sebagai bentuk ketidak sopanan.

3.      Bahasa Tubuh
Bahasa tubuh dapat membantu mengklarifikasi pesan-pesan yang cenderung membingungkan. Tetapi dalam perbedaan antara budaya bahasa tubuh bisa memberikan pengertian yang berbeda. Misalnya saja dalam budaya dengan konteks yang rendah mengangkat kaki ke atas meja adalah hal yang biasa tetapi dalam budaya yang konteks budayanya tinggi hal tersebut dianggap sebagai bentuk ketidaksopanan ataupun penghinaan.

Perbedaan bahasa tubuh lainnya adalah dalam ekspresi wajah, perilaku sentuhan, serta cara bagaimana seseorang mengucapkan salam. apabila kita perhatikan orang India akan menggelengkan kepalanya saat dia mengatakan “ya”, sedangkan gelengan kepala di kebanyakan budaya lain diartikan sebagai tanda “tidak”. Cara seseorang dalam bersalaman juga akan menunjukkan perbedaan budaya yang nyata. Di Indonesia menjabat tangan yang sopan dilakukan dengan kedua belah tangan secara halus. Sementara di barat jabat tangan yang baik yang menunjukkan sebuah persahabatan dilakukan dengan secara erat. Jabat tangan yang kurang erat dapat diartikan sebagai bentuk kekasaran ataupun penolakan.

Perilaku sentuhan juga dapat berbeda dalam sebuah budaya dengan budaya yang lainnya. Pelukan antara pria dan wanita untuk menunjukkan keakraban ataupun kegembiraan adalah hal yang diterima secara umum, meskipun mereka bukanlah sepasang kekasih ataupun suami istri. Sementara dibudaya lain, perilaku demikian bisa dianggap sebagai hal yang tidak biasa ataupun tidak wajar. Tanda-tanda non verbal dalam sebuah komunikasi antar budaya harus diperhatikan secara cermat, agar tidak terjadi kebingungan ataupun salah paham.

Bekerja Sama Dalam Lingkungan Sosial yang Berbeda

B.     Menangani Kesalah Pahaman Pelanggan dan Kolega Karena Latar Belakang yang Berbeda

Adanya perbedaan kebudayaan bisa mengakibatkan pahaman dalam berkomunikasi yang lebih lanjut dapat mengakibatkan konflik. Komunikasi lintas budaya bisa dipengaruhi oleh beberapa variable yaitu sebagai berikut:

1.      Waktu dan Tempat

Waktu merupakan salah satu perbedaan terbesar yang memisahkan budaya serta kebudayaan dalam melakukan sesuatu. Perbedaan waktu bisa menyebabkan kerusakan dan langkah yang dramatis dalam negosiasi ataupun dalam proses pemecahan masalah.

2.      Nasib dan Pertanggungjawaban Pribadi

Yakni derajat dimana kita merasa diri kita ialah pemimpin hidup kita, versus derajat dimana kita melihat diri kita sebagai sebuah subjek atas sesuatu diluar kendali kita.

3.      Face and Face Saving

Face penting dalam lintas budaya, walaupun demikian dinamika rupa ataupun face dan face saving ialah berbeda. Rupa mencakup status, kesopanan, kekuatan, humor, hubungan kedalam dan keluar, dan rasa hormat. Poin awal dalam individualis dan communitarianism berhubungan erat dengan rupa.

4.      Komunikasi Nonverbal

Komunikasi non verbal sangat penting dalam hubungan lintas budaya. Hal tersebut dikarenakan kita cenderung melihat isyarat non verbal jika pesan verbal tidak jelas ataupun ambigu terutama dalam hal lintas budaya. Oleh sebab itu perlu diperhatikan apa yang cocok, normal, serta efektif dalam komunikasi non verbal. Perbedaan budaya mempunyai sudut pandang yang berbeda terhadap isyarat non verbal dalam menyampaikan pesan.

Kunci komunikasi lintas budaya yang efektif ialah pengetahuan. Pengetahuan sangat diperlukan karena:
a)      Masyarakat perlu untuk mengerti masalah potensial dalam komunikasi lintas budaya serta meningkatkan kesadaran untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
b)      Penting untuk mengasumsikan perkembangan seseorang yang tidak selalu sukses dan menyesuaikan perilaku seseorang. Active listening bisa dipakai untuk mengkonfirmasikan apakah pihak tersebut mengerti betul akan pesan yang disampaikan. Apabila kata yang dipakai berbeda dalam konteks bahasa ataupun kelompok budaya active listening tetap bisa menimbulkan kesalah pahaman. Komunikasi lintas budaya bisa diatasi dengan memakai perantara yang yang sudah kenal dengan kedua budaya sehingga bisa membantu dalam situsai komunikasi lintas budaya. Namun perantara terkadang bahkan bisa membuat komunikasi menjadi lebih sulit. Hal tersebut dapat diatasi dengan memakai diskusi ekstra tentang proses serta cara yang membawa diskusi tersebut tepat.

Membahas budaya tidak akan terlepas dari cara serta media komunikasi. Berbicara tentang media komunikas maka hal pokok yang harus ditinjau ialah bahasa. Hal ini tidak terlepas dari posisi bahasa sebagai media ekspresi dari cermin pikiran manusia (mirror of a mind), ataupun seperti yang dikemukakan oleh Dell Hymes (1970) bahwa: bahasa sebagai petunjuk simbolik untuk memahami budaya manusia (language as the symbolic guide to culture).

Cara manusia memakai bahasa sebagai media komunikasi sangat bermacam-macam antar suatu budaya dengan budaya lainnya, bahkan dalam satu budaya sekalipun. Contohnya, meskipun kita sama-sama memakai bahasa Indonesia, kita sering dipusingkan dengan makna dari kata “ya”. Dalam berbagai konteks, kata “ya” bisa diartikan “saya setuju”, ataupun bisa saja dinterpretasikan sebagai “saya sudah mendengar Anda, tapi saya belum tentu setuju”. Dan kadang kala juga jawaban “ya” dalam bahasa Indonesia tidak selalu mempunyai makna literal “ya”. Karena bisa jadi untuk menyelamatkan muka lawan bicara (face saving), kita seringkali kali menjawab “ya”, padahal jawaban yang sebenarnya ialah “tidak”. Fenomena seperti itu dalam Discourse Analysis dinamakan dengan white lie (kebohongan putih).

Dalam konteks bahasa verbal, terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi, khususnya dengan hal yang berhubungan dengan dialek. Hampir semua bahasa yang memiliki jumlah penutur relatif banyak, memiliki dialek yang berbeda-beda.

Jenis dialek yang perlu diperhatikan dalam konteks kebudayaan ialah dialek sosial. Dialek ini bisa saja disebabkan karena adanya perbedaan gender (pria-wanita), umur, dan status sosial (bangsawan non bangsawan, kaya-miskin, termasuk latar belakang pendidikan dan ekonomi). Ambil saja contoh dalam bahasa Jawa, karena penuturnya terbagi dalam stratifikasi sosial yang bertingkat-tingkat, maka bahasa Jawa dalam pemakaiannya terbagi menjadi Kromo Inggil, Kromo, Kromo Madyo, dan Ngoko. Termasuk juga dalam bahasa Sasak dan Bali, terdapat bahasa halus dan bahasa “kasar”. Variasi bahasa, baik dalam bentuk perbedaan dialek regional ataupun dialek sosial, harus benar-benar diperhatikan dalam berkomunikasi.

Salah satu aspek penting yang sangat berpengaruh dalam komunikasi ialah pemakaian bahasa non verbal. Menurut Du Praw (1996) bentuk dari bahasa non verbal dapat meliputi bentuk ekspresi wajah (facial expressions), dan gerak tubuh (gestures), seperti misalnya senyum, pandangan mata, pemakaian tangan kiri dan kanan, gerakan tangan, gelengan kepala, dan lain sebagainya.

Termasuk pula dalam jenis bahasa non verbal ialah pengaturan tempat duduk dalam suatu acara, serta jarak antar pembicara pada saat proses komunikasi berlangsung. Walaupun terdapat bentuk komunikasi non verbal yang dipahami secara universal, tidak sedikit juga bentuk-bentuk komunikasi ini yang diartikan secara berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Senyum contohnya, orang Indonesia memahami senyum sebagai bahasa universal untuk mengekspresikan sebuah keramahahan dan persahabatan, akan tetapi bagi orang Eropa Timur, sebuah senyuman hanya diberikan kepada teman dekat, dan keluarga. Mereka tidak akan pernah sembarangan memberikan senyuman pada orang yang baru mereka temui. Apabila dilihat dari cara pandang orang Indonesia, orang Eropa Timur dapat dinilai kurang ramah, serta tidak bersahabat.

Perbedaan-perbedaan dalam cara memahami bentuk-bentuk komunikasi, baik verbal ataupun non verbal, dapat menimbulkan sebuah kesalah pahaman dalam komunikasi lintas budaya. Sehingga tidak jarang pendapat ataupun opini kita terhadap suatu budaya maupun komunitas tertentu bergerak menjadi suatu identitas yang mengakibatkan terjadinya streotip ataupun penyamarataan. Padahal budaya adalah suatu konsep yang sangat rumit, dan mempunyai lebih dari 300 definisi (Sadtono: 2003).

Tapi sederhananya, konsep tersebut mengacu kepada satu kelompok ataupun komunitas yang berbagi cara pandang yang sama dalam memahami dunia dan sekelilingnya. Tentu tidak ada ruginya kita belajar tentang budaya orang lain, karena hal tersebut dapat memperkaya cara pandang kita terhadap kehidupan. Agar apa yang kita pahami sebagai nilai-nilai kebenaran, kesopanan, kepatutan, dan kesantunan, tidak selalu berasal dari cara pandang serta kaca mata budaya kita semata. Karena terdapat nilai-nilai budaya yang kita punyai dan kita anggap “baik” dan “benar”, namun belum tentu baik dan benar dalam kaca mata budaya orang lain.

Posting Komentar untuk "BEKERJA SAMA DALAM LINGKUNGAN SOSIAL YANG BERBEDA"