Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERILAKU PEMBELIAN KONSUMEN

PERILAKU PEMBELIAN KONSUMEN

Adalah sangat penting dalam pemasaran untuk mengetahui perilaku pembelian konsumen. Apa itu perilaku pembelian konsumen? Perilaku pembelian konsumen merupakan proses atau aktivitas ketika seseorang melakukan pencarian, pemilihan, pembelian, pemakaian, dan pengevaluasian suatu produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya.

{|CATATAN| Agar pemahaman Anda lebih jauh mengenai perilaku pembelian konsumen, kami rekomendasikan 2 artikel berikut untuk Anda: 1. Proses Pengambilan Keputusan Pembelian Konsumen | 2. Kepuasan Pelanggan}

JENIS-JENIS PERILAKU PEMBELIAN KONSUMEN

Perilaku pembelian konsumen terbagi atas beberapa jenis, yaitu sebegai berikut:

Perilaku Pembelian Konsumen

1.      Perilaku Pembelian Kompleks

Seorang konsumen dikatakan berada dalam perilaku pembelian kompleks ketika ia sedang sangat terlibat dalam pembelian dan memiliki persepsi yang signifikan tentang perbedaan diantara merek. Konsumen bisa jadi akan terlibat secara mendalam ketika produk yang bersangkutan beresiko, jarang dibeli, mahal, dan menunjukkan ekspresi diri. Biasanya, konsumen harus mempelajari banyak hal tentang kategori produk yang bersangkutan. Seperti misalnya, seorang pembeli komputer mungkin saja tidak mengetahui mengenai atribut apa yang harus ia pertimbangkan. Oleh karena itu pembeli produk tersebut akan mulai melalui proses pembelajaran, yaitu mengembangkan keyakinan untuk mengenal produk, sikap, dan kemudian melakukan pilihan pembelian dengan penuh pertimbangan.

Pemasar berbagai macam produk yang memiliki tingkat keterlibatan tinggi harus dapat memahami perilaku konsumen terhadap pemilihan informasi dan evaluasi. Mereka sangat perlu untuk membantu pembeli dalam mempelajari berbagai atribut kelas produk, tingkat kepentingannya dan apa saja yang ditawarkan oleh merek yang bersangkutan dalam memberikan nilai pada atribut-atribut yang penting. Pemasar perlu mempelajari bagaimana cara membedakan fitur-fitur mereknya, dan kemudian mendeskripsikan manfaat dari mereknya dengan menggunakan media cetak dengan teks yang panjang. Pemasar harus terus memotivasi pramuniaga dan kenalannya agar dapat mempengaruhi pemilihan merek akhir.

2.      Perilaku Pembelian Pengurangan Disonasi

Perilaku pembelian ini terjadi apabila konsumen memiliki keterlibatan tinggi dengan pembelian yang mahal, beresiko atau tidak sering, tetapi melihat sedikit perbedaan antar merek. Misalnya, konsumen yang membeli sebuah karpet, memiliki keterlibatan yang tinggi karena harga mahalnya dan arena ekspresi diri. Namun, pembeli juga mungkin beranggapan bahwa kebanyakan merek karpet dalam kisaran harga yang sama memiliki kualitas yang sama pula. Pada kasus tersebut, karena persepsi tentang perbadaan merek tidak terlalu besar, maka pembeli mungkin akan mengelilingi berbagai toko untuk melihat barang apa saja yang tersedia, namun membeli secara cepat. Pembeli mungkin akan menanggapi hal tersebut pada harga yang lebih baik atau pada kemudahan pembelian.

Setelah pembelian terjadi, konsumen akan mengalami post purchase dissonance (disonasi setelah pembelian) ketika mereka menyadari adanya kekurangan tertentu dari karpet yang sudah dibeli atau mungkin mendengar hal yang lebih baik dari merek yang tidak ia beli. Maka untuk mengatasi disonasi tersebut, pemasar sebaiknya memberikan bukti dan dukungan kepada konsumen melalui komunikasi pasca penjualan agar konsumen merasa tepat dan nyaman atas pilihan merek yang telah dilakukannya.

3.      Perilaku Pembelian Kebiasaan

Perilaku pembelian ini terjadi saat dimana konsumen memiliki keterlibatan yang rendah serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara merek. Seperti misalnya, garam. Konsumen memiliki keterlibatan yang rendah dalam kategori produk garam, konsumen hanya pergi ke toko lalu kemudian mengambil satu merek. Apabila mereka mencari merek yang sama, itu hanya disebabkan karena kebiasaan bukan karena kesetiaan terhadap merek tersebut. Konsumen sepertinya memiliki keterlibatan yang rendah pada produk yang memiliki harga yang rendah dan dikonsumsi secara teratur.

Pada kasus demikian, perilaku pembelian konsumen tidak melalui jalur keyakinan, sikap, perilaku yang biasa. Jika diperhatikan konsumen tidak mencari secara luas mengenai informasi merek, evaluasi karakteristik atas merek, dan memutuskan secara serius merek apa yang akan mereka beli. Mereka cenderung secara pasif menerima informasi pada saat mereka melihat televisi ataupun membaca majalah. Iklan yang terus menerus diulang akan menciptakan kebiasaan pada suatu merek (brand familiarity) tetapi bukan keyakinan atas merek (brand convicition). Biasanya konsumen tidak memiliki sikap yang kuat terhadap suatu merek, konsumen memilih merek karena merek tersebut dikenal. Oleh karena itu mereka tidak terlibat secara kuat dengan produk yang bersangkutan, dan tidak mengevaluasi pilihannya setelah pembelian terjadi. Jadi, proses pembelian seperti itu melibatkan keyakinan merek yang dibentuk oleh pembelajaran pasif, lalu diikuti oleh perilaku pembelian yang diikuti ataupun tidak diikuti oleh evaluasi.

Karena pembeli atau konsumen tidak terlalu bergantung pada merek tertentu, pemasar produk dengan keterlibatan yang rendah dan perbedaan antar merek yang cenderung sedikit kadang memakai harga dan promosi penjualan untuk mendorong percobaan atas suatu produk oleh konsumen. Dalam mengiklankan sebuah produk dengan mendorong keterlibatan yang rendah, bunyi iklan harus menekankan hanya pada sedikit hal yang sangat penting. Imajinasi visual dan symbol adalah hal yang penting karena hal tersebut mudah diingat serta diasosiasikan dengan merek. Iklan harus mengandung pesan pendek yang terus berulang. Televisi pada umumnya lebih efektif dibandingkan dengan media cetak karena televisi adalah media dengan keterlibatan rendah yang sangat cocok dengan pembelajaran pasif. Perencanaan iklan harus didasari oleh teori pengkondisian klasik, dimana pembeli akan belajar mengidentifikasi suatu produk melalui simbol yang ada padanya.

Pemasar bisa mengubah produk dengan keterlibatan rendah menjadi produk dengan keterlibatan sedang dengan cara menghubungkan produk tersebut dengan isu-isu terkait. Seperti misalnya menghubungakn pasta gigi dengan isu menghindari gigi berlubang. Atau bisa juga produk dihubungkan dengan sejumlah kondisi pribadi. Seperti misalnya menghubungkan kopi dengan asmara dengan menampilkan iklan dua orang tetangga yang terlibat asmara. Strategi ini dapat menaikkan keterlibatan konsumen dari tingkat rendah menjadi keterlibatan sedang. Namun, strategi tersebut cenderung tidak mendorong konsumen menuju keterlibatan tinggi.

4.      Perilaku Pembelian Pencarian Variasi

Konsumen yang berada pada perilaku ini adalah ketika konsumen memiliki tingkat keterlibatan yang rendah akan tetapi mempersepsikan adanya perbedaan merek yang signifikan. Pada kasus yang demikian, konsumen seringkali akan beralih merek. Contohnya, pada saat konsumen membeli kue, seorang konsumen kadang mempunyai sejumlah keyakinan, memilih kue tanpa banyak evaluasi, kemudian konsumen tersebut akan mengevaluasi merek yang bersangkutan pada saat sedang dikonsumsi. Ada kemungkinan lain kali konsumen tersebut akan mengambil merek lain yang setara karena mengalami kebosanan ataupun semata-mata ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Penggantian pada merek terjadi semata-mata karena variasi bukan karena ketidakpuasan.

Dalam kategori produk tersebut, strategi pemasaran akan cenderung berbeda bagi para pemimpin pasar atau merek minoritas. Pemimpin pasar akan mencoba untuk menstimulus perilaku pembelian kebiasaan dengan memakai rak secara luas, membuat rak penuh dengan produknya, serta beriklan secara berkala untuk mengingatkan konsumen. Disisi lain, perusahaan pesaing akan menstimulus pencarian variasi dengan memberikan harga yang rendah, sampel gratis, kupon, penawaran khusus, dan iklan yang menawarkan berbagai alasan untuk mencoba sesuatu yang baru.

Posting Komentar untuk "PERILAKU PEMBELIAN KONSUMEN"