Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sanksi Hukum dalam Perjanjian

Sanksi Hukum dalam Perjanjian

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa dengan terjadinya perikatan (perjanjian) itu berarti para pihak sudah terikat oleh suatu hubungan yang berupa hubungan hukum, itu berarti salah satu pihak berkewajiban untuk melaksanakan prestasi yang sudah disepakati sebelumnya, jika prestasi tersebut tidak dipatuhi maka itu bisa dikatakan sudah melakukan ingkar janji, mencidrai janji, lalai, ataupun wanprestasi.

1.      Ingkar Janji (Wan Prestasi) dan Penetapan Lalai (Somasi)

Seseorang bisa dikatakan ingkar janji (wanprestasi) apabila dia tidak melakukan kewajibannya tersebut bukan karena suatu keadaan yang memaksa. Terdapat tiga bentuk ingkar janji, antara lain yaitu:
a)      Memenuhi prestasi secara tidak baik
b)      Terlambat memenuhi prestasi
c)      Tidak memenuhi prestasi sama sekali

Sebagai akibat ingkar janji atau wanprestasi tersebut kreditur bisa menuntut debitur dalam bentuk tuntutan pemenuhan perikatan, antara lain yakni:
a)      Ganti rugi
b)      Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
c)      Pembatalan dengan ganti rugi
d)      Pembatalan perjanjian timbal balik

2.      Risiko Dalam Perikatan

Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian / peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak ,untuk memecahkan masalah tersebut harus diperhatikan terlebih dahulu apakah perjanjian yang mereka adakan itu merupakan perjanjian sepihak atau perjanjian timbal balik,jika merupakan perjanjian sepihak maka risiko dipikul oleh pihak yang akan menerima benda ,tetapi jika perjanjian yang dibuat perjanjian timbal balik maka risiko tetap dipikul oleh pemilik barang.

Sanksi Hukum dalam Perjanjian

Hapusnya Perikatan (Perjanjian)

Dalam KUH Perdata pasal 1381 menyatakan bahwa terdapat sepuluh macam cara berakhirnya perikatan, cara-cara tersebut antara lain yaitu:

a)      Pembayaran

Menurut hukum perikatan, pembayaran ialah setiap tindakan pemenuhan prestasi, jadi bukan hanya berupa penyerahan atau pembayaran sejumlah uang saja, akan tetapi juga penyerahan barang oleh yang dilakukan oleh penjual. Prinsipnya debiturlah yang melaksanakan pembayaran pada kreditur, pada umumnya pembayaran tersebut dilakukan ditempat tinggal (rumah) kreditur ataupun langsung ditempat dimana pembelian menurut pada perjanjian, dengan dilakukannya pembayaran tersebut maka pada saat itu juga berakhirlah perikatan.

b)      Penawaran Pembayaran Tunai dan Diikuti dengan Penitipan

Ialah merupakan suatu cara pembayaran yang harus dilaksanakan oleh debitur jika kreditur menolak pembayaran.

c)      Kadaluwarsa

Kadaluwarsa atau lewat waktu pembayaran menurut pasal 1946 KUH Perdata ialah suatu upaya untuk mendapatkan sesuatu ataupun untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu serta atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Dari kalimat diatas bisa disimpulkan bahwa undang-undang mengenal dua bentuk kadaluwarsa (lewat waktu), antara lain yakni:
(1)   Daluwarsa extinctif, yakni daluwarsa yang bisa membebaskan atau melepaskan seseorang dari suatu perikatan.
(2)   Daluwarsa acquisitif, yakni daluwarsa untuk mendapatkan hak milik atas suatu barang.

Dari kedua pembagian kadaluarsa diatas, maka yang ada kaitannya dengan masalah ini ialah kadaluwarsa bentuk pertama, yakni daluwarsa extinctif. Lalu timbul pertanyaan berapa lama batas waktu untuk bisa dikatakan terjadinya kadaluwarsa? Untuk hal ini kita akan berpedoman pada pasal 1967 yang menegaskan bahwa, segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan ataupun yang bersifat perseorangan, hapus karena kadaluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Jadi intinya dengan lewatnya waktu tersebut berarti berakhirlah suatu perikatan.

d)      Pembatalan

Seluruh perikatan yang dibuat oleh seseorang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri (contohnya, orang yang berada dibawah pengampuan, anak yang masih dibawah umur, dll) atau perikatan tersebut dibuat karena paksaan, kekhilafan ataupun penipuan, maka orangtua ataupun wali dan pengampu (bagi mereka yang dianggap tidak cakap) dan atau yang bersangkutan sendiri (bagi perikatan yang dibuat karena terpaksa, penipuan, atau kekhilafan) bisa mengajukan pembatalan perikatan tersebut ke pada pengadilan. Dengan disahkan pembatalan tersebut oleh hakim, maka itu berarti berakhirlah pula perikatan yang dimaksud. Demikianlah bunyi dari pasal 1446 dan 1449 KUH Perdata.

e)      Persetujuan Pembebasan Utang

Pembebasan utang ialah perbuatan hukum, dimana kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan tersebut harus diterima atau disetujui oleh debitur, maka barulah bisa dikatakan bahwa perikatan utang piutang tersebut telah hapus karena pembebasan, karena ada juga kemungkinan seorang debitur tidak ingin dibebaskan dari piutangnya tersebut.

f)       Berlakunya Syarat Batal

Berakhirnya perikatan dikarenakan berlakunya syarat batal ini erat sekali kaitannya dengan perikatan bersyarat. Sebelumnya sudah disebutkan bahwa suatu perikatan ialah persyaratan apabila ia digantungkan kepada suatu peristiwa yang akan datang yang belum tentu akan terjadi.

Dalam pasal 1253 KUH Perdata, perikatan ada yang berupa perikatan bersyarat yang menghapuskan atau juga disebut perikatan dengan suatu syarat batal, yakni suatu perikatan yang telah dilahirkan justru akan berakhir ataupun dibatalkan jika peristiwa yang dimaksud tersebut terjadi. Oleh karena itu dengan terpenuhinya syarat batal tersebut maka berakhirlah pula perikatannya. Seperti contohnya Adhin menyewakan sebuah rumah kepada Dhea, dengan ketentuan atau syarat bahwa persewaan itu akan berakhir apabila anak Adhin yang sedang bertugas di luar kota kembali. Jadi dengan kembalinya anak Adhin itu berarti pada saat itu juga berakhirlah perikatan antara Adhin dengan Dhea yang ditimbulkan dari ketentuan atau perjanjian sewa menyewanya.

g)      Pembaharuan Utang

Pembaharuan utang atau biasa disebut juga dengan “novasi” ialah suatu perjanjian yang menyebabkan terhapusnya suatu perikatan lama namun pada saat itu juga akan menimbulkan suatu perikatan baru. Seperti contohnya, seorang penjual barang membebaskan pembelinya dari pembayaran harga barang tersebut, namun pembeli tersebut disuruh untuk menandatangani suatu perjanjian pinjam uang yang nilai atau nominalnya sama dengan harga barang tersebut. Jadi dengan dibebaskannya pembeli tersebut dari pembayaran harga barang itu, berarti berakhir pulalah perikatan yang lama, dan dengan ditandatangani perjanjian pinjaman uang, itu berarti akan menimbulkan perikatan baru. Pembaharuan utang ataupun novasi ini ada dua macam, antara lain yaitu:
(1)   Novasi obyektif, dimana perikatan yang sudah ada diganti dengan perikatan lain. Contohnya, kewajiban untuk membayar uang diganti dengan kewajiban untuk menyerahkan suatu barang tertentu.
(2)   Novasi subyektif, yaitu subyek perikatan yang diganti, misalnya, penggantian kreditur, penggantian debitur.

h)      Pencampuran Utang

Percampuran utang bisa terjadi dikarenakan kedudukan kreditur dengan debitur bersatu dalam diri satu orang. Misalnya seperti Oky (kreditur) menikah dengan Tuti (debitur), dengan pernikahan mereka itu berarti harta mereka akan bersatu menjadi harta perkawinan (bersama). Bisa pula debitur dalam surat wasiat ditunjuk sebagai ahli waris kreditur.

i)        Musnahnya Barang yang Terutang

Jika barang yang menjadi obyek perikatan musnah ataupun hilang di luar kesalahan maupun kelalaian debitur sebelum menyerahkan. Dengan hilang ataupun musnahnya barang tersebut, itu artinya debitur terbebas dari kewajiban untuk menyerahkan barang tersebut, atau dengan kata lain berakhirlah perikatan tersebut.

j)        Perjumpaan Utang

Perjumpaan utang atau disebut juga “konpensasi” adalah salah satu cara berakhirnya perikatan, karena masing-masing pihak saling memperhitungkan atau memperjumpakan utang-piutang mereka secara timbal balik. Seperti contohnya, Adhin memiliki utang kepada Dhea Rp. 250.000,00 dan ternyata Dhea memiliki utang juga kepada Adhin Rp. 225.000,00. Lalu mereka saling memperhitungkan ataupun dikompensasikan, sehingga Adhin masih terutang Rp 25.000,00 lagi kepada Dhea.

Demikianlah beberapa cara yang dapat menyebabkan berakhir atau hapusnya suatu perikatan menurut pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Posting Komentar untuk "Sanksi Hukum dalam Perjanjian"